Yanto tak pernah menduga, jika keisengannya mengunggah foto ke Facebook akan berbuntut panjang. Foto itu, sederhana saja. Memperlihatkan dirinya sedang duduk dibelakang meja sembari mengangkat telpon. Diruangan tempatnya bekerja.
Dan bermula dari situlah kisah ini berawal. Yanto di PHK oleh majikannya. Tanpa pesangon.
“Apa salah saya?” Suaranya pelan. Dia masih belum mengerti, apa yang sesungguhnya menjadi alasan dirinya dikenakan sanksi sedemikian berat.
Majikannya menjawab. “Kau telah menyebarkan rahasia perusahaan dengan mengupload ruangan tempat kerja di Facebook. Sehingga orang diluar sana mengetahui rahasia perusahaan ini.”
Mengetahui alasan itu, Yanto hanya bisa menggelengkan kepala.
Rahasia apa yang sudah ia bocor kepada orang luar sana? Apakah ketika ada yang melihat dinding ruang kerjanya berwana biru, sebuah rahasia perusahaan telah bocor? Apakah ketika ada yang melihat merk meja yang ada diruang kerjanya, sebuah rahasia telah bocor? Apakah warna dinding dan merk meja yang ada didalam perusahaan adalah sebuah rahasia?
Sulit untuk dipercaya, jika memang itu adalah alasannya. Perdebatan disore itu tak menyelesaikan permasalahan. Ini pasti bukan hanya gara-gara sebuah foto yang diupload di Facebook. Pasti ada hal lain yang melatar belakangi permasalahan ini. Pencemaran nama baik, mungkin, karena disaat foto itu diunggah disertai komentar yang mendiskreditkan perusahaan.
Saya pun, pada awalnya berpandangan demikian. Pasti ada alasan lain yang menyebabkan majikannya murka dan kemudian memecatnya. Barangkali, karena foto itu diunggah ke facebook dengan disertai kalimat yang membuat berang si majikan.
“Apakah ada kalimat yang mencemarkan nama baik perusahaan saat kau mengupload foto itu,” saya ingin memastikan.
Yanto menggeleng. Dia menegaskan, dirinya mengupload foto itu apa adanya. Tak sedikitpun ada niat untuk membuat perusahaan rugi. Apalagi sampai terfikir untuk membocorkan rahasia perusahaan.
Entah bagaimana awalnya, ada rumor yang berkembang diantara karyawan, jika perusahaan akan melaporkan ke polisi. Pasalnya, foto itu dianggap telah mencemarkan nama baik perusahaan.
Yanto gemetar. Bukan karena takut. Tetapi semakin tidak mengerti akan scenario yang sedang dimainkan oleh majikannya. Sudahlah ia kehilangan pekerjaan, tanpa pesangon, kini berhembus kabar jika dirinya pun juga akan dijebloskan ke penjara.
“Mana foto yang kau unggah di facebook itu. Aku ingin lihat,” Toni menanyakan.
“Sudah aku hapus,” jawab Yanto. Pelan.
Dan jawaban itu justru semakin membuat banyak orang yakin, jika ada kalimat yang mencemarkan nama baik perusahaan. Semacam umpatan, kekesalan, atau apalah itu namanya.
Mungkin Yanto tak bermaksudkan mencermakan nama baik. Tetapi ketika kawan-kawannya tahu jika foto itu diambil dari ruang kerjanya didalam perusahaan, akhirnya banyak yang memberikan komentar jelek tentang tempatnya bekerja: yang lain berspekulasi. Saya kira ini kebiasaan banyak orang. Banyak yang memberikan komentar tanpa memperhatikan duduk persoalan.
“Jika memang kau merasa benar dan tak bersalah, mengapa harus dihapus?” Kawan-kawannya sendiri mulai menghakimi.
Percuma walupun dihapus. Karena perusahaan sudah mencetaknya sebagai bukti. Dan akhirnya kesimpulan sementara yang didapat adalah ini: sudah terima saja di PHK, meski tanpa pesangon, daripada berurusan dengan polisi.
Banyak orang yang kemudian menafsirkan berdasarkan pemikirannya masing-masing terhadap kejadian ini. Bukan karena tak bersimpati terhadap Yanto. Tetapi mereka juga tak ingin, jika hanya karena masalah sepele ini justru akan menyeret Yanto masuk kedalam penjara. Dengan menasihati agar Yanto tak mempermasalahkan di PHK terhadap dirinya, bagi sebagian besar kawan-kawannya itu, adalah sebuah itikad baik.
“Itu adalah bentuk pembelaan dari kami”, barangkali itulah yang ada dalam pikiran mereka.
Tetapi pada sisi yang lain, Yanto memiliki argumentasi sendiri. Foto itu dihapusnya dari dinding Facebook bukan karena hendak menghilangkan jejak. Foto itu dihapus karena perasaan kesal. “Foto pembawa sial,” begitu kira-kira yang terfikirkan olehnya ketika menghapus foto itu.
(Sebuah cerita yang belum selesai dan akan saya lanjutkan nanti…)
***

Cerita yang saya tuliskan diatas adalah kejadian nyata. Hanya saja, setting dan nama-nama yang tercantum didalamnya saya rubah. Dan kejadian seperti ini – buruh yang di PHK karena sebuah postingan di Facebook – bukan hanya satu-satunya.
Setahun lebih saya menyimpan cerita ini, hanya sebagai data pribadi. Namun ketika kemarin sore saya membaca buku ‘Jurnalisme Sastrawi – Antologi Liputan Mendalam dan Memikiat’ saya tergerak untuk menuliskannya kembali.
Saya percaya, diantara kita banyak kisah yang berserak. Sebagian besar sudah terkubur dan menjadi sejarah. Saya hanya ingin menghidupkannya kembali.
Oh ya, saat ini saya memiliki cita-cita sederhana : Ingin menulis buku yang didedikasikan untuk merekam jejak juang kaum buruh. Adapun proses pengerjaan buku yang saya maksudkan itu, saat ini sudah berjalan 70% dan dalam waktu dekat ini saya bermaksud mengadakan FGD (FocusGroup Discussion). Diskusi terbatas ini penting untuk dilakukan, guna memperdalam materi tulisan. Selanjutnya memasuki tahap editing dan siap untuk diterbitkan.
Jika Anda memiliki kepedulian terhadap hal ini, saya mengajak Anda untuk mendukung proyek ini dengan cara melakukan patungan. Kita membutuhkan 100 orang yang memberikan dukungan sebesar Rp. 100 ribu untuk mendanai proyek ini (total Rp. 10 Juta). Dengan mendukung gagasan ini, Anda akan mendapatkan sebuah buku yang ditandatangani penulisnya dan nama Anda dimasukkan dalam credit title buku yang diterbitkan. Mekanisme patungan akan ditutup, setelah dana yang kami butuhkan terpenuhi. Tentu saja, sebagai bentuk pertanggungjawaban, secara berkala saya akan secara transparan melaporkan dana yang terkumpul melalui blog ini.
Dukungan bisa ditransfer ke Bank Mandiri KCP Serang – Cikande No Rekening 163-00-0094808-6 atas nama Kahar Setyo Cahyono.
Setelah melakukan transfer mohon memberikan konfirmasi melalui SMS di nomor HP: 0859-4573-1398, pin BB: 2ACE2A0B atau di e-mail: kahar.mis@gmail.com.
Pelawanan itu akan terus kita suarakan!
Salam: Kahar S. Cahyono