Kali ini saya ingin menceritakan Mbah Marjukan. Meskipun usianya sudah memasuki 83 tahun, akan tetapi tubuhnya belum renta. Suaranya masih keras. Telinganya tidak tuli. Dan ini yang luar biasa, semangatnya masih luarbiasa hebat.
Marjukan adalah produk kerusuhan politik di tahun 1965. Semula dia adalah anggota Buruh Tani Indonesia (BTI) yang sempat belajar menggunakan senjata untuk “ganyang Malaysia”. Dia dianggap elite PKI. Takdir kemudian membawanya dari penjara ke penjara: ditahan di Pekalongan, Nusakambangan dan terakhir di Pulau Buru (selama 15 tahun).
Saat ini Marjukan aktif di Omahtani Batang sebagai sesepuh.
Setiap ada pendidikan politik atau diskusi, ia selalu militan. Dia mendorong orang muda untuk go politik.
Setiap kali dia berbicara, setiap kali itu pula saya melihat ‘perlawanan’ terhadap ketidakadilan. Dia meminta orang untuk tidak provinsialis, atau dengan kata kata lain jangan menjadi primodialisme. Dia meminta agar pemimpin tidak terbelilit rantai emas: harta dan seks.
Marjukan sempat berteori tentang kepatuhan massa kepada pemimpinannya. Dia masih menyimpan harapan, bahwa Indonesia akan menjadi lebih makmur dan adil bagi anak cucunya.
“Saya adalah orang tua yang tidak mau mewarisi batuk dan encok saja,” katanya satu ketika.
Satu katapun tidak pernah terucap, dia mencari kambing hitam dengan menyalahkan pada nasib ataupun partainya. Menurutnya, dia dan kawan-kawan yang lain adalah ‘pupuknya revolusi’, yang menurut bung Karno ‘belum selesai’.
Ditengah kemiskinannya, karena pemerintah memperlakukan eks tahanan 1965 hanya sebagai warganegara kelas dua, mbah Marjukan tidak sekalipun ‘menyerah’ kemudian apatis, anti politik, masa bodoh, egois, dan tiarap.
Dari situlah saya percaya: Bahwa raga bisa diremukkan. Akan tetapi jiwa tetap akan mencari air kehidupan dan selalu berteriak menuntut pertanggungjawaban. (*)