Jakarta,FSPMI – Pemerintah harus melakukan intervensi khusus untuk menagih komitmen perusahaan yang masih memberikan upah rendah kepada para pekerjanya. Hingga kini, masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi aturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyanto, mengakui masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak mampu atau enggan membayar pekerjanya berdasarkan aturan. “Oleh karena itu, intervensi khusus diperlukan untuk mengatasi tingginya insiden pekerjaan berupa rendah,” ujar Hariyanto di Jakarta, Minggu (12/7).
Di Indonesia hanya perusahaan kelas menengah dan besar yang memberikan upah pekerjaan relatif layak kepada pekerjanya. Pekan lalu, organisasi buruh internasional (ILO) mengungkapkan, 66,4 persen pegawai tetap di Indonesia menerima upah di bawah rata-rata. Hingga Agustus 2014, upah rata-rata di Indonesia Rp 1.952.589 per bulan.
Hariyanto mengatakan, pemerintah harus melakukan intervensi khusus juga agar perusahaan-perusahaan mematuhi peraturan. “Intervensi khusus diperlukan termasuk untuk memperkuat kepatuhan terhadap peraturan,” ucap Hariyanto.
Berdasarkan penelitian The Economist Intelligence Unit pada April 2015, seperti dilansir Bloomberg, upah buruh di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara di kawasan Asia lainnya. Upah buruh Indonesia lebih rendah di antaranya dari Tiongkok, Vietnam, dan Filipina.
Buruh di Indonesia hanya dibayar 74 sen per jam dalam lima tahun terakhir. Buruh Tiongkok dibayar US$ 4,79 per jam, Vietnam US$ 3,16 per jam, dan Filipina US$ 3,15 per jam dalam lima tahun terakhir.
Menurut Hariyanto, para pengusaha bukan tidak mau upah buruh naik. “Kenaikan upah harus terprediksi,” katanya. Ia berharap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengupahan dapat menjawab persoalan upah pekerja di Indonesia selama ini.
Tidak Jujur
Anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagkerjaan, Ninasapti Triaswati mengatakan, besaran upah sering tidak disampaikan jujur. Oleh karena itu, pengawasan upah harus terus dilakukan guna mendapat data yang akurat.
“Sering tidak jujur dan pekerjanya sering tidak dilaporkan sesuai jumlah,” ujar Ninasapti. Ia meminta data upah dan jumlah pekerja tidak dimanipulasi karena terkait penetapan besaran iuran dan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Sejauh ini, Ninasapti mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan baru mencatat 17 juta pekerja di sektor informal dan 1 juta pekerja dari sektor informal. Dalam UU BPJS, setiap pemberi kerja atau perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta program jaminan sosial.
(Sumber : http://www.sinarharapan.co)