“Kalau ingin ada perubahan. Kalau memang kita menginginkan buruh mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap bangsa ini. Mau tidak mau serikat buruh harus memperluas gerakannya. Mau tidak mau Said Iqbal harus merelakan sebagaian waktu dan tenaganya untuk gerakan sosial. Tidak cuma untuk FSPMI. Tidak cuma untuk KSPI. Anda sendiri yang harus memutuskan, bagaimana dengan situasi itu? Apakah sebagian pimpinan yang hadir disini siap atau tidak untuk mengambil beban yang selama ini dipikul oleh Iqbal?”
Pertanyaan itulah yang dilontarkan Surya Tjandra dalam Sekolah Kepemimpinan yang diselenggarakan FSPMI pada tanggal 16-18 Desember 2013.
“Sebagai para pemimpin, apakah Anda merelakan jika peran Said Iqbal kita perluas dan kita perkuat, supaya nanti dia yang membawa aspirasi kita semua? Bukan hanya untuk buruh, tetapi juga untuk gerakan sosial yang lainnya.” Pertanyaan itu, menurut Surya, menjadi PR yang tidak harus dijawab sekarang. Tetapi pertanyaan itu akan selalu menghantui langkah FSPMI, hingga semua pimpinan buruh yang ada didalam organisasi ini mampu memberikan jawaban.
Diluar itu, demikian Surya Tjandra mengatakan, pelan-pelan buruh harus mulai masuk keranah yang paling esensial di negeri ini. Khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan bagi banyak orang. Termasuk didalamnya yang berkaitan dengan peran serta kaum buruh dalam pembangunan: memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Saat ini kita dihadapkan pada persoalan representative,” kata Surya Tjandra.
Persoalan representasi yang dimaksudnya adalah, mayoritas masyarakat di negeri ini tidak memiliki perwakilan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh, demokrasi yang dibajak.
“Sekarang ada demokrasi, tetapi demokrasi yang tidak membawa kesejahteraan. Kita bebas berbicara, tetapi orang miskin terus bertambah. Bahkan angka kemiskinan kita naik dari 0,39 menjadi 0,41. Padahal angka 0,4 itu sudah raport merah,” ujar Surya.
Lebih lanjut pendiri TURC ini mengatakan, pemerintah tidak peduli dengan raport merah angka kemiskinan itu. Bahkan, ironisnya, pemerintah tidak merasa sedang memiliki masalah.
Kenapa begitu?
Karena kelompok-kelompok yang tidak menikmati kesejahteraan itu tidak mempunyai kekuatan.
Tetapi persepsi itu patah. Ketika akhirnya buruh, khususnya FSPMI, merubah paradigma: bahwa buruh Indonesia pun pantas mendapatkan upah yang layak.
Tuntutan ini tidak hanya disampaikan secara abstrak, tetapi nyata. Misalnya dengan menuntut 3,7 Juta di Jakarta dan kenaikan 50% didaerah-daerah lain.
Walaupun awalnya banyak buruh yang merasa ragu. Tuntutan tersebut dirasa tidak masuk akal, takut menggangu secara ekomomi, tetapi sekarang perasaan itu tidak ada lagi.
Fenomena ini tidak hanya tejadi di Jakarta, tetapi diseluruh Indonesia.
Sekarang buruh merasa pantas untuk mendapatkan upah yang baik.
Ini persoalan paradigma. Persoalan kesadaran. Saya kira, ini merupakan terbobosan penting yang kawan-kawan harus tahu. Karena dirimu yang bertanggung kawab atas perubahan paradigma itu.
Di Belanda, saya kenal dengan pekerja rumah tangga, yang itu pun illegal. Tetapi mereka mendapatkan upah yang lebih baik. Mereka awalnya datang sebagai turis, dan setelah visanya habis, tetap bekerja disana. Di restoran, di rumah-rumah, merawat orang tua. Mereka punya Ipad atau punya mobil, itu biasa.
Kenapa dirimu yang notabene bekerja, yang dikelas masyarakat sesungguhnya adalah kelas yang penting karena ikut membayar pajak, kok tidak bisa hidup secara kayak?
Kalaupun lebih sedikit, lihat bagaimana reaksi sebagian media? Waktu itu ada debat soal ada yang membawa motor ninja atau yang bawa mobil ketika demo. Ini kan persoalan paradigma masyarakat yang masih menggunakan model lama, bahwa buruh harus terlihat susah dan terus-terusan miskin.
Tetapi saat ini ada sebagain masyarakat teroganisir yang mulai maju.
Kesadaran ini bagi saya penting. Karena disitulah menunjukkan kita mulai masuk ke zaman industri, bukan zaman perbudakan kayak dulu. Dimana orang bekerja dengan menjual tenaga dan mendapatkan upah untuk hidup layak dari situ.
Itu sah, menurut saya.
Dimana-mana negara seperti itu. Hanya di Indonesia, bahkan buruh pabriknya saja yang jelas-jelas bekerja dengan menyumbangkan pajak sedemikian besar, masih tidak merasa pantas untuk mendapatkan upah layak. Ini persoalan paradigma yang dikonstruksikan secara terus-menerus.
Nah, Anda bertanggungjawab mendobrak itu. Dengan mogok nasional, dua tahun berturut-turut, saya kira berhasil merubahan paradigm. Kalau menurut istilahnya orang-orang kiri: itu pengalaman revolusioner yang penting.
Karena dengan mogok, buruh bisa melihat kelasnya. Memiliki kekuatan. Tidak hanya sebagai pribadi, tetapi sebagai kekuatan kolektif. Dalam berbagai sejarah dunia, pasti mengalami hal seperti ini. (Kascey)