Meski Sibuk Dukung Capres, Buruh Tetap Kompak Tolak RPP Upah

Aksi menolak RPP Pengupahan di depan Kantor Menakertrans yang dilakukan FSPMI-KSPI pada hari Kamis, 19 Juni 2014 | Fotografer: Ocha Herma-One
Aksi menolak RPP Pengupahan di depan Kantor Menakertrans yang dilakukan FSPMI-KSPI pada hari Kamis, 19 Juni 2014 | Fotografer: Ocha Herma-One

Pesta demokrasi di tahun 2014 ini benar-benar terasa. Di media massa, di dunia maya, bahkan di alam nyata, dukung mendukung terhadap kedua pasangan Capres-Cawapres semakin seru. Semua berlomba ingin menjadi nomor satu. Menjadi pemenang dalam Pemilu.

Kaum buruh, yang seringkali dianggap apatis dalam urusan politik, kini justru memainkan peran yang sangat penting. Mulai dari perayaan May Day yang ditandai dengan penandatanganan Sepultura (Sepuluh Tuntutan Buruh dan Rakyat) oleh Capres Prabowo Subianto dan Presiden KSPI Said Iqbal, pengambilan nomor urut di KPU yang dihadiri ribuan buruh, long march Bandung – Jakarta, hingga kampanye akbar yang melibatkan ratusan ribu buruh di berbagai daerah. Semua itu menegaskan bahwa gerakan buruh semakin politis.

Ini tentu membawa keuntungan tersendiri bagi gerakan.  Isu buruh menjadi bagian penting yang terus-menerus disuarakan. Sesuatu yang tidak pernah terjadi, dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Ditengah situasi konsentrasi tinggi terhadap Pilpres, tiba-tiba sebuah kabar kurang menyenangkan terdengar.  Ini tentang adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang sudah memasuki tahap akhir dan segera disahkan. Seperti ramai diberitakan, draft RPP Pengupahan sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 akan segera masuk ke Kementerian Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti.

Kabar ini disampaikan oleh Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Wahyu Widodo. Wahyu berharap, RPP ini bisa selesai sebelum pemerintahan yang sekarang berakhir. “Ini peraturan yang penting sekali, lebih cepat lebih baik,” ujar Wahyu kepada wartawan, Senin (9/6).

Wahyu menambahkan, dalam RPP ini ada beberapa yang dievaluasi. Seperti soal periodesasi penetapan upah minimum yang awalnya setahun sekali menjadi dua tahun sekali. Menyesuaikan dengan harga kebutuhhan hidup saat itu, prestasi kerja karyawan dan kemampuan perusahaan. Adanya periodesasi ini dinilai membantu perusahaan untuk menyusun anggaran yang akan dibuat. Selain itu juga bisa memberikan kepastian hukum bagi pekerja untuk mendapatkan upah yang sesuai.

“Pekerja akan mendapat kepastian, kalau saya sudah berapa tahun akan dapat nilai segini,” ujar Wahyu.

Nantinya pekerja juga akan menggunakan struktur skala upah. Dalam draft RPP disebutkan bahwa untuk mendorong produktivitas di perusahaan dan kesejahteraan buruh, pengusaha wajib menerapkan struktur dan skala upah yang proposional di tingkat perusahaan. “Nantinya akan diukur melalui lama bekerja dan kinerja yang telah dilakukan,” jelas Wahyu.

Sistemnya sendiri tergantung pada masing-masing perusahaan. Sesuai kemampuan dan kebijakan perusahaan. Kemenakertrans hanya berfungsi sebagai regulator yang saling melindungi kepentingan perusahaan dan pekerja.

Sementara soal Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Wahyu mengatakan akan tetap berjumlah 60 item. “Di salah satu item misalnya makanan, kan tidak mungkin setiap hari makan ayam tapi bisa diganti dengan telur, tahu dan lainnya. Nah di KHL yang diusulkan jadi 84 item itu ayam, telur, tahu dijadikan item yang berbeda,” paparnya.

Menanggapi hal itu, Presiden KSPI, Said Iqbal bereaksi keras. Ia menyatakan RPP pengupahan merugikan buruh Indonesia. Tak tanggung-tanggung, pada hari Kamis yang lalu (19/6), ribuan buruh yang tergabung didalam KSPI melakukan perlawanan keras dengan menggelar aksi di kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

“Kami menolaknya. Kami bercermin pada negara Jerman. Dimana Jerman akan menaikkan upah buruhnya setahun sekali. Kami ingin Indonesia mengikutinya. Karena kebutuhan buruh sangat banyak, sedangkan gaji yang kita terima kecil.” Ujar Said Iqbal.

Oleh karena itu, Said Iqbal meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak menanda tangani RPP tersebut. Jika kemudian RPP tersebut masih tetap disahkan, Presiden KSPI itu menyerukan untuk melakukan pemogokan nasional.

Dalam aksi pada hari Kamis itu, KSPI juga meminta agar Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kemenakertrans dipecat. Karena lebih berpihak kepada pengusaha hitam yang ingin mengembalikan rezim upah murah.

Dalam audiensi yang dilakukan pada saat aksi, barulah didapat kepastian jika RPP itu belum segera disahkan. Pemerintah bahkan meminta masukan kepada kalangan serikat buruh, agar RPP Pengupahan yang baru nanti benar-benar bisa diterima oleh semua pihak.

Paling tidak, aksi ribuan buruh di hari Kamis itu membuka mata banyak orang, bahwa buruh tidak terlena dengan kampanye pemilihan presiden. Meski mereka mendukung salah satu pasangan Capres – Cawapres, akan tetapi mereka tidak pernah melupakan isu paling esensial mengenai dirinya. Sebuah fakta, jika keterlibatan buruh dalam politik sejatinya adalah bagian dari upaya memperjuangkan kesejahteraan. Anda masih juga meragukannya? (Kascey)