Said Iqbal : Menyudahi Upah Murah

MENYUDAHI UPAH MURAH

Oleh: Said Iqbal

Said Iqbal , Presiden FSPMI / KSPI
Said Iqbal , Presiden FSPMI / KSPI

Demonstrasi oleh lebih dari dua juta pekerja/buruh di Indonesia awal Oktober lalu boleh jadi bukanlah epilog dari dinamika sosial kaum pekerja di tahun 2012. Sebab salah satu aspirasi aksi justru akan memasuki fase kritisnya pada November 2012 saat ditetapkannya besaran upah minimum pekerja untuk tahun 2013.
Upah minimum adalah upah bulanan terendah bagi pekerja lajang dengan masa kerja satu tahun atau kurang yang besarannya ditetapkan oleh kepala daerah berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di suatu daerah. Sedangkan komponen KHL yang menjadi dasar penetapan upah minimum diatur oleh Pemerintah.
Dengan begitu nilai upah minimum sekurangnya haruslah sama atau 100 persen dari nilai KHL. Permasalahannya rata-rata nasional pencapaian upah minimum terhadap KHL masih dibawah 89 persen (Depenas, 2011).

Ekonomi

Sekalipun bukan suatu keharusan, Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU) meminta agar penetapan upah minimum memperhatikan pertumbuhan ekonomi.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah nomor 2 dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) diperingkat 16 besar dunia. Di Asia, Menteri Perdagangan RI menyebutkan PDB Singapura hanya seperlima dari PDB Indonesia, Malaysia seperempat, dan Thailand hanya sepertiga kita.
Melihat pesatnya pertumbuhan ekonomi itu, pemenuhan upah minimum agar setara dengan KHL mestinya tidak lagi menjadi kendala. Apalagi pencapaian pertumbuhan itu turut disokong oleh adanya produktivitas pekerja.
McKinsey Global Institute (MGI) dalam laporan yang dirilis September lalu, misalnya, menyebutkan kenaikan produktivitas tenaga kerja memiliki peran hingga 61 persen atas capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 1990—2010.

Namun ketimpangan terjadi untuk urusan pengupahan. Upah minimum buruh rata-rata nasional Indonesia hanya sekitar 1.100.000 rupiah, sementara Thailand, Malaysia, dan Singapura justru berlipat-lipat dari kita.

Politik

Rendahnya tingkat upah sejatinya muncul akibat kebijakan Pemerintah yang menerapkan politik upah murah. Siasat ini dilakukan Pemerintah dengan merancang peningkatan pertumbuhan ekonomi namun dengan cara menekan rakyatnya sendiri. Buruh didera dengan berbagai tuntutan produktivitas kerja tetapi hanya dibayar dengan upah yang sangat murah.

Strategi politik upah murah Pemerintah dalam kebijakan upah minimum bisa diidentifikasi pada tiga hal.
Pertama, melalui pemunculan istilah “bertahap” untuk pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum. Istilah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) itu selalu dicantolkan Pemerintah pada setiap peraturan teknis yang terkait dengan KHL dan upah minimum.

Dengan dalih itu Pemerintah merasa tidak ada yang keliru jika upah minimum tidak harus senilai dengan KHL. Karena bertahap, ya bersabar saja. Kira-kira begitu maksud Pemerintah.
Padahal, penahapan sesungguhnya sudah berlangsung selama 10 tahun jika dihitung sejak UU itu lahir hingga upah minimum tahun 2013 nanti diberlakukan. Masa itu setara dengan dua periode pemerintahan. Penahapan sepatutnya memiliki tenggat. 5 tahun saja sudah terlalu lama.

Kedua, Pemerintah menekankan pada tingkat kemampuan dunia usaha. Sementara Februari lalu Presiden sendiri yang mengatakan bahwa pada dasarnya pengusaha mempunyai kemampuan untuk menaikan upah minimum.
Adanya kemampuan dunia usaha itu bahkan terbukti saat upah minimum tahun 2012 bisa dinaikan dalam jumlah yang signifikan.

Sayangnya, penaikan upah harus selalu diawali oleh adanya aksi dari para pekerja.
Setelah buruh menutup akses jalan tol Cikampek Jawa Barat, awal Januari lalu, upah minimum tahun 2012 untuk seorang operator di Jabodetabek, misalnya, bisa naik rata-rata 375.000-500.000. Padahal sebelum tahun 2011, rata-rata kenaikan upah berkala tahunan operator dengan masa kerja 5 tahun saja hanya berkisar 150.000-200.000 per bulan.

Ketiga, Pemerintah menekan upah minimum melalui KHL. Melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.13/2012 (Permanakertrans), komponen KHL oleh Pemerintah sengaja mengakomodasi sedikit mungkin jenis kebutuhan. Karena semakin sedikit komponen KHL akan semakin murah upah pekerja.
Pada komponen yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan itu pemerintah hanya memperhitungkan 60 jenis kebutuhan dari yang sebenarnya mencapai 122 item berdasarkan penelitian Akatiga. Permintaaan 84 item oleh pekerja pun masih belum digubris oleh Pemerintah.

Diantara kebutuhan yang enggan diberikan oleh Pemerintah itu adalah air minum. Bayangkan, untuk kebutuhan yang paling mendasar bagi kehidupan manusia saja Pemerintah sedemikian pelitnya.
Dalam Permenakertrans memang disebutkan adanya item air bersih standar PAM pada komponen KHL perumahan. Tetapi faktanya air PAM dibanyak tempat justru dinilai berkualitas buruk oleh Dinas Kesehatan bahkan oleh pengawas PAM sendiri. Jangankan untuk dikonsumsi, untuk mandi dan mencuci makanan pun dinyatakan tidak layak.
Lebih dari itu air PAM pada KHL perumahan baik dari segi barang maupun nilainya sesungguhnya berbeda dan tidak setara untuk dikompensasikan dengan air minum atau air mineral yang dibutuhkan pekerja pada KHL makanan dan minuman.

Bahkan untuk sekedar payung atau jas hujan yang diperlukan buruh agar tidak kuyup saat tiba di perusahaan pun tidak diakomodasi oleh Pemerintah. Sedangkan perusahaan selalu menuntut buruhnya berpenampilan rapi saat bekerja.

Kemiskinan

Apabila upah minimum rata-rata nasional disandingkan dengan kemampuan buruh memenuhi kebutuhan dasar seperti untuk makan, misalnya, maka pantaslah kita mengelus dada.
Menurut survei BPS 2011, persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan di Indonesia adalah 49.45 persen untuk makanan dan 50.55 persen bukan makanan.

Artinya, daya beli buruh lajang untuk setiap kali makan hanya sekitar 6.000 rupiah. Sedangkan buruh yang sudah berkeluarga terpaksa hanya bisa menjatah makan istri dan satu anaknya sekitar 2.000 rupiah saja per sekali makan. Nilai itu semakin kecil jika buruh memiliki lebih dari seorang anak.

Pemberian upah minimum kepada pekerja yang sudah berkeluarga adalah fakta dan masih sering ditemukan karena buruh dipekerjakan sebagai pekerja outsourcing atau pekerja kontrak.

Penelitian OPSI 2009 memberi informasi bahwa untuk mengatasi beban hidupnya sebagian buruh terpaksa berhutang atau nekat mengambil kartu kredit. Sebagian yang lain terpaksa menggunakan waktu istirahatnya untuk mencari tambahan dengan cara berdagang atau mengojek, misalnya.

Penggunaan waktu istirahat untuk bekerja itu tentu berpengaruh negatif terhadap kondisi fisik dan mental buruh. Karena keesokan harinya buruh sudah dihadapkan pada segudang tuntutan perusahaan mulai dari produktivitas kerja yang tinggi, prestasi kerja, serta disiplin.

Sehingga tidaklah fair jika Pemerintah selalu mendengungkan produktivitas pekerja masih rendah sementara alasan yang menyebabkan produktivitas itu belum optimal tidak pernah diberikan solusinya.
Pemerintah harusnya berangkat dari paradigma bahwa jika dengan kemiskinannya saja buruh mampu berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, apalagi jika mereka disejahterakan. Pastilah ekonomi indonesia akan lebih melesat dan produktivitas akan bersaing.

Upah layak

Politik upah murah sudah saatnya diubah Pemerintah menjadi politik upah layak. Yaitu suatu kebijakan yang benar-benar melindungi, adil, dan berdampak pada kesejahteraan pekerja.
Bagi buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun diberikan upah minimum yang senilai dengan KHL yang sebenarnya (84 item), sementara buruh yang masa kerjanya diatas satu tahun patut dipertimbangkan produktivitas, efisiensi kerja, masa kerja, dan keterampilannya sebagai dasar untuk menaikan upahnya. Karenanya aturan tentang struktur dan skala upah harus dipertegas.

Jika upah layak diimplementasikan, bukan mustahil target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 yang dicanangkan Pemerintah sebesar 6.8-7.2 persen bisa dicapai. Buruh tentu akan lebih bersemangat untuk merealisasikannya dan tak perlu lagi ada aksi tutup jalan tol, misalnya.

Kita semua tentu menginginkan ekonomi Indonesia terus tumbuh, namun pada saat yang bersamaan tujuan kita berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak boleh dilupakan. (*)

SAID IQBAL,
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/
Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia

Catatan Redaksi: Tulisan ini dibuat pada tahun 2012, Redaksi memuat kembali dalam edisi ini karena isi dari tulisan tersebut memiliki korelasi dengan isu perjuangan upah yang sedang diperjuangkan buruh dalam waktu beberapa hari terakhir.

0 thoughts on “Said Iqbal : Menyudahi Upah Murah”

  1. Pingback: wahyudiwibowo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *