Malam itu hujan turun. Maklum, bulan Desember. Orang Jawa bilang, Desember itu “gede-gedene sumber”. Puncak musim penghujan.
Tetapi, hujan tak menyurutkan semangat para pemimpin buruh yang sedang mengikuti Sekolah Kepemimpinan (Sespim) di Training Center FSPMI, Cisarua – Bogor. Dikarenakan banyaknya peserta, Sespim diselenggarakan diluar ruangan, dengan mendirikan tenda. Pengurus DPP, PP, DPW, PC dan Koordinator Daerah yang berasal dari 12 Provinsi hadir disini. Mereka datang dari Aceh, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Surya Tjandra, dari TURC, hadir sebagai pembicara. Selain Surya, ada juga Wilson. Seorang aktivis gerakan sosial, yang memiliki pengalaman dalam gerakan sejak masa Orde Baru.
“TURC bekerja di sebagaian Sumatera dan Sulawesi. Kita belum pernah mengadakan kegiatan di Kalimantan dan Indonesia timur. Tetapi hampir diseluruh Jawa pernah kita kunjungi,” demikian Surya Tjandra mengawali pembicaraan, malam itu.
Surya diberi kesempatan untuk berbicara terlebih dahulu, sebelum Wilson.
“Dari pengalaman berkeliling dan berinteraksi dengan serikat buruh di berbagai daerah itulah,” demikian Surya melanjutkan, “sesungguhnya FSPMI yang menjadi provokator sesungguhnya dalam gerakan serikat buruh.”
Kami bertepuk tangan mendengar itu.
Dan Surya terus berbicara. Mari kita dengarkan apa yang dia sampaikan.
Menurutnya, hampir semua aliansi daerah yang memberikan nuansa perubahan terhadap gerakan buruh di Indonesia, pasti disana ada orang FSPMI. Entah yang masih baru bergabung, atau yang sudah lama menjadi bagian dari organisai ini. Seperti di Bekasi.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membedakan FSPMI?
Kenapa ia bisa begitu?
Saya membayangkan, didalam internal FSPMI sendiri pasti terjadi sebuah dinamika. Terjadi perdebatan dan adanya perbedaan pendapat. Tidak apa-apa hal itu terjadi. Karena dengan begitu, justru menunjukkan sebuah organisasi yang sehat.
Faktanya, FSPMI bisa memberikan warna yang luar biasa.
“Dan sekarang, presiden anda, Said Iqbal, presiden KSPI juga, sudah menjadi semacam tokoh buruh nasional,” Surya Tjandra memberikan tekanan dalam kalimat ini. Seolah ia hendak menegaskan, bahwa apa yang disampaikannya barusan sangat penting untuk didengarkan.
Butuh dua kali mogok nasional yang sebesar itu, yang kalau saya cerita mogok nasional ini kepada teman-teman di Belanda, mereka bilang, jika mogok sebesar itu terjadi di Belanda, bisa jadi akan ganti Perdana Menteri.
Tetapi disini, dengan dua kali mogok nasional, baru pelan-pelan mulai terasa ada seorang tokoh dari kaum buruh. Dan yang lebih penting, dia menjadi tokoh nasional. Suka tidak suka, saat ini mulai ada persepsi: jika akan aka nada perubahan kebijakan dibidang perburuhan, maka harus mempertimbangkan terlebihdahulu bagaimana pendapat Iqbal.
Itu adalah sebuah capain yang luar biasa.
Itulah sebabnya, kita sepakat. Bahwa ini menjadi satu momentum langka. Suka tidak suka, mereka yang tidak suka dengan buruh harus menerima realitas ini.
Pertanyaan kemudian adalah, apakah kawan-kawan buruh sendiri merasakan hal itu sebagai sebuah kemajuan?
Kalau saya melihatnya, sekarang ini sudah ada kebutuhan yang semakin nyata. Semakin lugas dan jelas, bahwa kita butuh tokoh buruh yang memimpin gerakan sosial. Saya sudah blak-blakkan dengan Bung Iqbal. Itulah yang harus dia melakukan.
Kalau ingin ada perubahan, kalau memang kita ingin buruh mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap bangsa ini, mau tidak mau gerakan buruh harus memperluas gerakannya. Mau tidak mau Said Iqbal harus merelakan sebagaian waktu dan tenaganya untuk gerakan sosial. Tidak cuma untuk FSPMI. Tidak cuma untuk KSPI.
Anda sendiri yang harus memutuskan. Bagaimana dengan situasi itu? Apakah sebagian pimpinan yang hadir disini siap atau tidak untuk mengambil beban yang selama ini diambil oleh dia?
Karena dia akan kita bawa ke level yang lebih tinggi sedikit, untuk kasih perubahan yang lebih besar.
Saya kira, pertanyaan yang dilontarkan Surya Tjandra ini penting untuk kita jawab. Kritik terhadap gerakan buruh yang saat ini sering kita dengar adalah, perjuangan mereka hanya untuk dirinya sendiri.
Benar, kita memiliki pandangan ‘dari pabrik ke publik’, tetapi belum tersosialisasikan secara luas, apa yang kita maksud dengan gerakan itu. Beruntung, ada seorang seperti Surya Tjandra yang mengingatkan kita semua.
Anda bisa menjawab pertanyaan Surya? (Kascey)