
Bekasi di pagi ke 18 pada bulan Nopember 2015 itu terlihat cerah. Di Omah Buruh, beberapa orang buruh sedang mempersiapkan kedatangan peserta longmarch Bandung – Jakarta. Sesuai jadwal, sore nanti peserta longmarch akan tiba di Omah Buruh.
Berbeda dengan hari-hari biasanya, pagi itu banyak polisi yang berdatangan. Mereka bergerombol di beberapa tempat, di sekitar Omah Buruh. Diperkirakan, jumlahnya mencapai 150 personil.
Omah Buruh merupakan tempat yang biasa dipergunakan untuk melakukan konsolidasi buruh Bekasi. Kedatangan polisi dalam jumlah besar ke tempat ini, seperti hendak menyampaikan pesan, bahwa penguasa negeri ini tidak akan tinggal diam dengan rencana mogok nasional yang akan dilakukan buruh Indonesia.
Sehari sebelumnya, Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi merekomendasikan kenaikan upah minimum Tahun 2016 sebesar 11,5 persen. Dengan kenaikan sebesar itu, artinya Bekasi menggunakan formula kenaikan upah berdasarkan PP Pengupahan. Sesuatu yang sejak awal mendapat penolakan keras dari kaum buruh.
Pasca rekomendasi itu, di media sosial, serentak banyak buruh yang membuat status: “Ini Bekasi, Bung. Masak nggak ada perlawanan!”
Semakin malam, semakin banyak orang yang membuat status itu. Pertanda bahwa api kemarahan kaum buruh di basis perjuangan sudah tersulut?
Sementara itu, pada saat yang sama, dari Karawang peserta longmarch diberangkatkan. Peserta longmarch sudah menempuh perjalanan selama 3 hari, dari Monumen Perjuangan, Bandung. Sore ini (18 Nopember 2015), mereka direncanakan tiba di Omah Buruh, Bekasi.

Berbeda dengan ketika melewati daerah-daerah yang lain, ketika memasuki Bekasi, tindakan polisi terkesan berlebihan. Di perbatasan Karawang – Bekasi, ratusan polisi bersenjata lengkap menghadang rombongan. Sempat terjadi perdebatan yang cukup sengit antara peserta longmarch dan pihak kepolisian. Ketika itu, buruh ngotot melakukan longmarch. Namun pihak kepolisian melarang. Memaksa peserta longmarch naik mobil dalmas.
Polisi berdalih demi keamanan peserta longmarch.
“Menurut pihak kepolisian, ada sekelompok massa yang akan menghadang kawan-kawan peserta longmarch,” kata Feri.
Feri adalah Tim Media GBI, yang ikut mengawal longmarch sejak dari Bandung.
“Tetapi di sepanjang jalan yang kita lalui saat diangkut dengan kendaraan milik polisi terlihat kondusif dan tidak ada sekelompok massa yang berkumpul untuk menghadap peserta longmach,” katanya.

Di tengah jalan, peserta memaksa turun.
Mereka ingin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Namun saat mobil menepi, lagi-lagi terjadi adu mulut dengan salah polisi yang mengendari motor.
Ketika itu, ada banyak buruh yang mengawal longmarch dengan mengendarai sepeda motor. Ketika berhenti, terjadi kemacetan panjang. Polisi memaksa melanjutkan perjalanan.
Perdebatan panjang kembali terjadi. Menurut polisi, aksi longmarch ini tidak memiliki ijin. Polisi berhak menyatakan ini kegiatan illegal dan terlarang. Bisa dibubarkan. Sebagai kompromi, peserta longmarch mengalah, dan naik kendaran kepolisian hingga Taman Sentosa, Cikarang. Dari sini, peserta longmarch melanjutkan ke Omah Buruh, Bekasi.
* * *
Sementara itu, di saat yang bersamaan, sedang berlangsung konferensi pers yang diselenggarakan Gerakan Buruh Indonesia dan Tim Advokasi Kaum Buruh dan Rakyat (TABUR). Dalam konferensi pers tersebut, TABUR meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepolisian untuk tidak melakukan tindakan represif terhadap Mogok Nasional Gerakan Buruh Indonesia, yang akan dilakukan pada 24-27 November 205.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan di LBH Jakarta itu, GBI juga menyesalkan sikao kepolisian yang mulai melakukan intimidasi tehadap buruh. Bahkan, ketika mogok nasional belum dilakukan.
“Mulai ada intimidasi. Longmarch yang kami lakukan di stop, di Bekasi,” kata Said Iqbal. Dia adalah adalah salah satu Presidium GBI.
“Hanya Kapolres Kabupaten Bekasi yang melakukan represi terhadap longmarch,” ujarnya. Padahal di daerah-daerah lain, longmarch buruh justru difasilitasi. Kepolisian melakukan pengamanan di sepanjang jalan. Tetapi giliran Bekasi, tindakan polisi dinilainya terlalu berlebihan.

Pengacara publik anggota TABUR, Maruli Radjagukguk menambahkan, kepolisian tidak bisa menghalangi aksi protes gerakan buruh itu. “Siapapun yang menghalangi unjuk rasa adalah tindakan kejahatan,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Untuk itu, Maruli mendesak pihak kepolisian untuk memfasilitasi aksi yang merupakan protes terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi tersebut.
“TNI dan kepolisian, harus di pihak yang netral, kalau tidak bisa berpihak pada rakyat, bukan pada pemodal yang menjadi alat penguasa yang membungkam kawan-kawan buruh,” katanya.
Pengacara LBH Jakarta itu memperingatkan para pengusaha agar tidak melakukan serangan balik terhadap mogok nasional.
“Siapapun yang menghalangi unjuk rasa adalah tindakan kejahatan. Misalnya pengusaha melakukan PHK terhadap buruh yang mogok kerja, itu merupakan penghalang-halangan serikat,” imbuhnya. Selanjutnya itu mengatakan, “Sanksi penghalangan serikat pekerja bisa mencapai 5 tahun penjara.”
TABUR berpendapat, gerakan buruh juga memiliki kekuatan hukum untuk melakukan mogok nasional. Ini karena pemeirntah melakukan pemiskinan struktural melalui PP Pengupahan. Selain itu, PP Pengupahan menutup ruang demokrasi karena membungkam aspirasi buruh. Padahal, Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

* * *
Pada hari yang sama (18 Nopember 2015), di Jombang – Jawa Timur, sedikitnya 5 (lima) orang buruh mengalami luka-luka serta 2 (dua) orang ditangkap oleh Polres Jombang dalam aksi di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Aksi 10,000 buruh ini dilakukan dalam rangka menuntut Pencabutan PP No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Menolak usulan Bupati Jombang untuk kenaikan UMK Jombang untuk tahun 2016 yang hanya Rp. 1,808,000 atau naik 4,5%. Angka ini jauh lebih rendah dari tuntutan kaum buruh di Jombang sebesar Rp. 2.700.000.
Tindakan represif polisi, menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK semakin menunjukkan karakter fasisnya dengan terus melakukan tindasan kekerasan terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh rakyat.
Berdasarkan siaran pers yang disebarkan oleh DPP GSBI tertanggal 18 Nopember 2015, aksi buruh yang diorganisasikan oleh GSBI Jombang bersama dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya di Jombang berlangsung damai sejak dimulai sekitar pukul 07.30 WIB. Didepan kantor Pemerintah Kabupaten Jombang massa aksi secara bergantian menyampaikan pidato politik yang berisi dua tuntutan utama tentang kenaikan upah dan pencabutan PP 78/2015.
Hingga pukul 11.15 WIB, tidak ada itikad baik dari Pemkab Jombang untuk merespon aksi yang dilakukan oleh buruh, sehingga hal ini mulai memicu kemarahan buruh. Perangkat-perangkat aksi telah berusaha untuk menenangkan agar seluruh massa aksi tetap berada dalam satu kepemimpinan aksi dan melanjutkan aksi damai hingga tuntutan dipenuhi.
Namun, 20 orang aparat kepolisian dari total sekitar 500 orang yang berjaga didepan kantor Pemkab merangsek memukuli massa aksi dan menangkap dua orang tanpa alasan yang jelas. Salah satu orang yang ditangkap adalah kawan Leo (GSBI), dimana saat pernyataan ini ditulis kondisinya masih pingsan dan dirawat di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) Jombang. Sementara satu orang lainnya masih berada di Polres Jombang menjalani pemeriksaan.
Atas tindakan tersebut, FSPMI mengutuk tindakan represif kekerasan yang dilakukan kepolisian. Meskipun aparat semakin represif, FSPMI menyatakan tidak akan mundur dan justru semakin bersemangat untuk melakukan mogok nasional, tanggal 24-27 Nopember 2015. (*)
Penulis: Kahar S. Cahyono (Tim Media DPP FSPMI)