Waktu kecil dikhitan, waktu besar pake kutang.
Transeksual yang satu ini selalu ikut dalam setiap aksi yang dilakukan Omahtani, sejak tahun 2000. Dia gemar melakukan lips sing atau playback. Mulutnya selalu cuap-cuap mengikuti lagu. Dalam setiap kehadirannya, ribuan massa petani terbius. Terdiam dan kemudian tertawa terbahak-bahak melihat tingkahnya.
Tidak ada caci-makian. Tidak ada umpatan, semisal kata-kata merendahkan: “banci loe!”.
Dadanya montok. Disuntik silikon dengan ukuran botol kratingdaeng.
Adalah Fatimah, waria yang melakukan penyuntikan silicon terhadapnya. Ia menyuntik payudaranya dari empat arah: atas, bawah, samping kiri dan samping kanan.
Tidak terbayangkan rasa sakitnya. Menggigil dan demam selama beberapa hari. Empat belas hari lamanya dia harus tidur terlentang supaya silicon membentuk payudara secara sempurna. Sekali saja dia miring, maka silicon akan mengalir dan mengisi tetek yang satunya. Akibatnya bisa fatal, teteknya akan besar sebelah.
Harga suntik silicon ini murah. Tidak ada urusan steril. Jarum suntiknya cukup besar. Sebesar jarum untuk kawin suntik sapi: ach, begitu sulitnya untuk menjadi perempuan.
Sherli berkali-kali dihajar dalam dunia malam yang ganas di Semarang, tanpa tau apa salahnya. Dia tidak kuasa untuk membalas. Kawannya, bahkan ada yang sampai disilet wajahnya hingga cacat permanen. Sering dipalak preman jalanan hingga sesama waria yang berkarater jahat.
Dia terbuang dari keluarganya karena malu. Hari-harinya terancam infeksi HIV/AIDS. Menjadi sasaran pelecahan seksual, digaruk Satpol PP: benar-benar manusia yang tidak ada ‘harganya’.
Akan tetapi begitu dia memegang mike pada saat demo Omagtani, kemudian berteriak: “Hidup Tani!” Serentak itu pula ribuan massa mengelu-ngelukannya. “Hidup Sherly – Hidup Sherly”
Dia mendapat oase diantara petani, yang bahkan tidak mengenal arti hak asasi manusia. Disitu kemanusiaannya dipungut untuk dihargai: bukan di ruang-ruang perkuliahan, seminar, bahkan kantor pemerintahan.
Mereka yang melek hurub, saya kira harusnya lebih paham bagaimana jahatnya diskriminasi pada jaman demokrasi. (*)