Ketika masih duduk di bangku SMP, saya sedang senang-senangnya membuat dan mengirim surat melalui pos. Saya berkoresponden dengan tokoh Indonesia: salah satunya adalah Ny. Tien Soeharto.
Ketika itu, saya menulis tentang keinginan untuk mendapatkan photo dan tanda tangan beliau. Suatu ketika, jauh hari setelah saya mengirimkan surat yang berisi keinginan saya tesebut, saya mendapatkan surat balasan dalam amplop tebal: berisi surat balasan dan photo Sang Ibu Negara.
Tentu saja. Saya bangga dan senang mendapatkan repon dari ibu negara.
Saya pajang photonya di kamar dan saya simpan baik-baik surat balasannya. Seperti halnya surat cinta dari sang kekasih, saya bahkan membaca surat itu berulangkali dengan bangga.
Sekian bulan kemudian, diwaktu sore, ada dua orang datang bertamu. Saya kira ia tentara. Dua orang itu menemui tante saya: ketika itu saya tinggal di Pekalongan, terpisah dengan orangtua saya yang berada di Bandar.
Keesokan harinya, papah saya datang dan menanyakan soal surat itu.
Waktu berputar cepat. Esok harinya lagi, saya dijemput di sekolahan. Ternyata papah dan tante sudah bersama tamu yang kemarin datang. Mereka mengaku dari Kodim Pekalongan.
Saya ditanya dengan lembut, apa maksud saya menulis surat kepada Ibu Negara. Siapa saja yang menyuruh, diapakan saja surat balasannya, lalu dikemanakan fotonya. Hingga akhirnya, saya harus menunjukkan surat dan photo itu.
Dengan lembut pula dia minta ‘pinjam’ dengan kata akhir: Daripada nanti disalahgunakan.
Saya menangis ketika surat dan foto itu saya serahkan. Saya takut luar biasa. Tak sekalipun terbesit, jika keasyikan berkorespondensi itu akan membuat saya berhubungan dengan tentara.
Kejadian itu menghilangkan kebangaan saya. Apalagi ketika saya sudah semakin dewasa dan mengetahui bagaimana ‘orba’ memperlakukan rakyatnya. Hingga akhir hayatnya yang misterius dan tiba-tiba, saya bahkan samasekali tidak lagi memperdulikannya. (*)