Oleh: Obon Tabroni *)
Hingga akhirnya, Said Iqbal terpilih sebagai Sekretaris PC SPLEM SPSI Bekasi.
Tentu saja, dengan terpilihnya Iqbal sebagai Sekretrasis di Pimpinan Cabang, kesibukannya bertambah. Ia bukan lagi semata-mata milik PUK PT. Kotobuki Elektronics Indonesia (sekarang PT. PHCI). Bahkan, sebagian besar waktunya habis untuk membantu PUK-PUK lain di Bekasi.
Kami selalu protes. Mengapa harus ngurusi orang lain. Sementara di rumah sendiri banyak kekurangan. Dalam pandangan saya saat itu, jika Iqbal fokus untuk membenahi PUK, itu akan membuat kami semua menjadi lebih baik.
Ketika mengingat kembali masa-masa itu, dalam beberapa hal saya bisa memahami jika ada yang mempertanyakan: Untuk apa solidaritas ke PUK lain? Bukanlah lebih baik PUK sendiri saja yang diberesin? Bahkan sampai-sampai ada yang tidak rela jika dari pengurus PUK-nya ada yang duduk sebagai pengurus di tingkat cabang atau pusat. Khawatir jika dia lebih konsentrasi keluar, ketimbang membantu memperbaiki yang di dalam.
Saya bisa memahami perasaan-perasaan seperti itu. Hal yang sama, seperti yang kami rasakan, dulu.
Sama seperti yang pernah kami rasakan, dulu. Dalam bahasa kami: Iqbal selalu berlayar.
Kami sempat memberikan julukan kepadanya, sebagai Nabi Nuh. Tentu saja, dengan memberikan julukan itu kami tidak bermaksud menyamakan Iqbal dengan nabi. Itu hanyalah julukan yang kami sematkan kepadanya, karena ia jarang berada di tempat, dan lebih sering berkelana dari satu PUK yang satu ke PUK yang lain. Jika saya tidak salah, di sekretariat, hingga kini masih terdapat lukisan kapal laut yang sedang berlayar. Lukisan itu sengaja kami pasang, untuk menyentil Iqbal supaya ingat pulang: Jangan berlayar terus.
Tetapi Iqbal tidak bergeming.
Ia terus berlayar. Meninggalkan kami semua.
Bahkan, pelayarannya berlanjut hingga sekarang.
Hingga satu ketika, kami menjadi sadar sendiri. Bahwa keputusannya untuk berjuang membantu PUK-PUK lain diluar sana, berdampak banyak untuk kami. Rumus itulah yang kami percaya hingga sekarang: Jika kita membantu orang lain, pada hakekatnya kita sedang membantu diri sendiri.
* * *

Saat itu tahun 1997.
Bersama-sama dengan kawan-kawan lain di SPSI, terutama di tingkat unit kerja, kami berharap adanya perubahan di organisasi. Mulailah saya, Judi (sekarang Ketua Umum PP SPEE FSPMI), Saiful dan Nasri (sekarang masih di SPSI), berkeliling untuk mencari serikat pekerja lain sebagai pembanding. Kami datang ke SBSI dan PPMI. Sebelumnya akhirnya, kami memilih untuk mendirikan serikat pekerja yang lebih independent: Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Dalam kesempatan ini saya tidak ingin menuliskan tentang alasan prinsip, mengapa kami keluar dari SPSI dan mendirikan FSPMI. Selain karena kurang etis, saya merasa hal itu sangat subjective.
* * *
Tahun 1999.
FSPMI dideklarasikan.

Kesibukan Iqbal semakin bertambah. Jabatan baru sebagai Sekretaris Umum SPEE FSPMI dan Pengurus DPP FSPMI, membuat kami bertambah jauh. Iqbal menugaskan saya menjadi Ketua SPEE dan berpesan agar menjadikan Bekasi sebagai basis perjuangan. Saat FSPMI dideklarasikan, modal awal untuk bergerak tidak lebih dari 30 (tiga puluh) unit kerja. Jumlah itu total dari keseluruhan dari 3 (tiga) sektor: SPEE, SPAMK, dan SPL.
Pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai. Berbagai masalah datang silih berganti. Tantangan demi tantangan menuntut penyelesaian. Dan disitulah, peran Iqbal menjadi sangat berharga. Ia mem back-up total. Termasuk ketika kami harus berurusan untuk pertama kalinya dengan kepolisian, karena menyandera pengusaha Jepang selama 24 jam.
Berebut Sekretariat dengan SPSI juga pernah kami lakukan. Hingga akhirnya kami harus tersingkir dan terpaksa menyewa sebuah Ruko di Bekasi Plaza. Padahal, saat itu, keuangan FSPMI belum sekuat yang sekarang.
Banyak hal-hal pahit yang lain. Mungkin pada kesempatan lain, saya ingin berbagi kesulitan itu dengan Anda. Agar Anda bisa memahami, jika organisasi ini dibangun dengan keringat dan air mata. Bahwa bukan kebetulan, jika kemudian FSPMI menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.
Masa-masa awal yang berat itu, kami isi dengan berkeliling wilayah. Tekad kami hanya satu: Menjadikan FSPMI tetap eksis, menjadi lokomotif gerakan buruh dan mempersatukan seluruh gerakan buruh .
Selain di Bekasi, Iqbal juga menugaskan saya membangun basis jaringan baru di wilayah lain.
Saat itu 8 September 1999. Saya berangkat ke Surabaya. Masih basah dalam ingatan saya, kereta api penuh sesak. Padahal bukan masa liburan. Barulah saya sadar, hari itu bertepatan dengan tanggal 9-9-1999: Tanggal yang diramalkan sebagai datangnya hari KIAMAT.
Dalam kesempatan yang berbeda, saya berangkat ke Batam dengan menggunakan Kapal Laut. Tepat 11 September 2001. Ketika berita tentang runtuhnya Gedung WTC akibat serangan Teroris itu disiarkan, saya berada di dalam Kapal Laut, dari Tanjung Priok menuju Batam.
Kondisi saat itu, sangat berbeda jauh dengan sekarang. Saat sekarang, bila kita akan masuk ke satu wilayah, kontak person dan tujuannya sudah ada terlebih dahulu. Siapa yang dikunjungi jelas. Bermalam dimana, sudah diatur sebelumnya.
Masa-masa itu, ketika kita memasuki wilayah lain, tidak banyak yang memberikan dukungan. Pun anggaran yang tersedia sangat minim. Saya ingin bercerita salah satunya. Saat melakukan kunjungan ke Surabaya, turun dari Kereta Api, uang yang tersisa tidak lebih sepuluh ribu. Saat itu ada 3 kebutuhan yang sama-sama penting: makan siang, rokok, sendal jepit.
Tebak, apa yang akhirnya yang saya beli? Saya memilih untuk membeli sendal jepit.
Saat ke Batam, sedikit agak beruntung. Disana ada kawan-kawan Panasonic. Meskipun kalau siang hari makan Indomie, tetapi dimalam harinya, ada yang mentraktir makan.
Saat membantu pengembangan di Karawang pada tahun 2001, tidak begitu bermasalah. Selain karena lokasinya yang dekat dengan tempat tinggal saya di Bekasi, kami masuk melalui kawan Panasonic yang bekerja di PT. Firelli.
Saya sadar, FSPMI yang sekarang, bukan semata-mata hasil kerja saya. Itu semua bisa kita capai, karena kebersamaan dan komitment yang tinggi dari kita semua. Banyak orang-orang hebat yang telah berjuang tanpa pamrih membesarkan organisasi ini. Pada akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan satu pepatah lama: bahwa menjaga itu jauh lebih sulit daripada ketika mendapatkanya…
Bersambung…
Tulisan sebelumnya:
*) Tulisan ini diedit kembali oleh Kahar S. Cahyono, tanpa merubah substansi/isi
0 thoughts on “Kado Untuk Iqbal (2)”