
Tentu saja, kita setuju dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan yang meminta elemen buruh untuk tidak hanya menuntut kenaikan upah minimum provinsi melainkan juga meningkatkan produktivitas. Sebagaimana diberitakan sejumlah media, Luhut meminta agar buruh memperbaiki kualitas kerja dan meningkat produktivitas.
“Saya lebih cenderung mengatakan, buruh juga harus berkaca, apa itu, membuat produktivitas. Jadi produktivitas itu lebih penting, jangan dia hanya menuntut saja. Produktivitas buruh juga, menurut hemat saya, harus berkaca. Sama-sama kita memperbaikinya,” kata Luhut di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Senin (26/10/2015), sebagaimana dikutip kompas.com dalam sebuah berita dengan judul tendensius, ‘Luhut: Buruh Juga Harus Berkaca’. Dalam konteks yang sama, kita meminta agar Pemerintah juga berkaca.
Apa yang disampaikan Luhut, agar buruh meningkatkan kualitas kerja dan produktivitas sebelum menuntut upah naik merupakan sesuatu yang wajar. Dalam hal ini, saya bahkan menganggap pendapat Luhut benar. Tetapi, Pemerintah tidak bisa semata-mata menyalahkan buruh terkait produktivitas.
Urusan produktivitas bukan semata-mata tanggungjawab buruh. Bahkan, kalau mau jujur, upah yang rendah juga akan berpengaruh pada produktivitas. Tentu kita tidak ingin terjebak pada debat kusir, lebih duluan mana antara upah dan produktivitas.
Pernyataan Luhut membuat diskusi kita tentang upah menjadi lebih produktif. Setidaknya, ketika buruh meminta upah naik, jawaban yang diberikan tidak selalu seperti ini: perusahaan tidak mampu, pabrik bisa tutup, dan akhirnya buruh jadi pengangguran semua.
Sebab apabila jawaban itu yang diberikan, sudah hampir bisa dipastikan buruh tidak akan percaya. Buruh bisa melihat secara kasat mata, ekonomi tumbuh, perusahaan berkembang, tetapi upah yang mereka terima tetap segitu-gitu juga. Bahkan, ada banyak contoh, buruh bekerja lebih dari 20 tahun, tetapi upahnya tidak lebih dari UMK.
Satu hal yang harus kita tahu, di tahun 2015 ini, upah minimum terendah Indonesia terdapat di Kabupaten Banjarnegara yaitu Rp. 1.100.000 dan yang tertinggi adalah Kabupaten Karawang Rp. 2.957.450. Kita mau membandingkan dengan China? Disana, upah minimum terendahnya adalah Rp. 1.808.532 dan yang tertinggi 3.965.604. Di Filipina, upah minimum terendah adalah Rp. 2.312.646 dan yang tertinggi adalah Rp. 4.261.929. Malaysia upah minumnya Rp. 3.177.451, sementara di Thailand mencapai Rp. 3.547.891. Tidak perlu lah kita bandingkan dengan Hongkong yang mencapai Rp. 13.435.459, Korea Selatan Rp. 14.782.611, Jepang Rp. 23.760.906, New Zealand Rp. 32.321.354, atau Australia yang mencapai Rp. 41.389.922.
Data diatas memperlihatkan kepada kita, bahwa upah buruh di Indonesia masih jauh tertinggal. Dalam kondisi seperti itu, kita mau membandingkan produktivitas dengan Negara-negara lain? Baiklah!
Dalam satu kesempatan, Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, supaya fair, mari kita bandingkan produktivitas secara head to head. Untuk menyebut satu contoh, pabrik Toyota. Di Indonesia, hasil produksi Toyota lebih banyak dan lebih berkualitas jika dibandingkan dengan produksi Toyota dari Thailand. Tidak hanya itu, dinilai dari sisi ekspor, produk Toyota yang dirakit di Indonesia juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ekspor Toyota di Thailand. Tetapi buruh Indonesia dibayar lebih murah dari Thailand. Tetapi memang kalau bicara produktivitas secara nasional atau global, hal yang wajar jika nilai produktivitasnya rendah. Karena jumlah penduduk Indonesia besar sekali (sebagai angka pembagi) terhadap PDB atau GDP.
Penting juga untuk diketahui. Ada banyak perusahaan yang menganggap pendidikan atau training adalah cost. Padahal pendidikan untuk up grade skill adalah investasi. Sering terjadi, buruh hanya disuruh bekerja, tanpa diberikan pelatihan. Jangankan diberi pelatihan, bahkan masih sering ditemui, ada atasan yang menyuruh buruhnya mengerjakan sesuatu “menggunakan kaki”. Bahasa kebun binatang pun sering keluar.
Sekretaris Jenderal Kemenakertrans Abdul Wahab Bangkona juga pernah mengatakan, kondisi infrastruktur yang buruk, berimbas pada kualitas produktivitas masyarakat Indonesia. Infrastruktur bagus, hanya ada di sebagian kecil wilayah Indonesia. Sisanya ketinggalan terutama di pulau-pulau terpencil.
“Bagaimana meningkatkan kualitas ini sehingga jangan hanya di tempat tertentu,” katanya.
Jadi, kita sepakat dengan pernyataan Luhut, bahwa buruh harus berkaca. Tetapi tidak hanya buruh yang harus melakukannya. Pemerintah dan Pengusaha juga harus berkaca. (*)