Belajar Setia Kawan dari Buruh GSI

Anggota Tim Media FSPMI, Kahar S. Cahyono, saat berkunjung ke tenda juang PUK SPL FSPMI PT. Good Service Indonesia.
Anggota Tim Media FSPMI, Kahar S. Cahyono, saat berkunjung ke tenda juang PUK SPL FSPMI PT. Good Service Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri Cikupa Mas, Tangerang. (Rabu, 22 Januari 2014)

Untuk kawan-kawan Good Service Indonesia.

Saya tahu, sebagai buruh, saat-saat seperti ini adalah saat-saat sulit dalam kehidupan kalian. Kalian harus tetap berjuang meski tak lagi mendapatkan gaji. Harus tetap datang ke pabrik yang sudah tutup itu, meski harus berhutang untuk sekedar biaya transportasi. Semua itu kalian lakukan karena sebuah keyakinan, bahwa perjuangan harus tetap dilanjutkan.

Berhenti disini, berarti kehilangan eksistensi.

Ketika saya berkunjung ke tenda juang kalian, di pagi yang gerimis itu, banyak kisah yang kalian ceritakan kepada saya. Bermula ketika pada bulan Desember, diakhir tahun 2013, management mengumumkan penutupan perusahaan. Informasi itu sangat mendadak. Mengejutkan. Dan karena hak kalian sebagai buruh belum diberikan hingga sekarang, sejak saat itu kalian menduduki perusahaan. Sebuah tenda perjuangan kalian dirikan disamping gerbang perusahaan: antara got dan tembok pabrik.

Disinilah kalian menguatkan simpul kebersamaan. Dua puluh empat jam secara bergantian.

“Di Undang-undang kan sudah diatur jika buruh yang di PHK harus mendapatkan pesangon. Seharusnya perusahaan sudah sejak dulu menyisihkan keuntungannya untuk cadangan dana pesangon. Bukan seenaknya saja main menutup pabrik dan begitu gampangnya bilang rugi tanpa bersedia membayar pesangon karyawan,” ujar seorang pria berusia 56 tahun yang siang itu ikut ngobrol bersama saya di tenda juang GSI. “Biar tua gini, sedikit banyak saya tahu tentang undang-undang,” ucapnya kemudian.

Saya senang mendengar penuturan pak tua ini. Meski tak sempat menanyakan nama, tetapi saya melihat ada semangat menyala didalam binar matanya.

Buruh Good Service Indonesia (GSI) bergabung dengan Serikat Pekerja Logam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPL FSPMI) sekitar bulan April 2013. Sebelum bergabung dengan FSPMI, sebenarnya di GSI sudah berdiri serikat pekerja yang lain. Akan tetapi sejak dua tahun yang lalu, serikat pekerja yang pertama ditinggalkan anggota. Pasalnya serikat pekerja ini dianggap gagal memperjuangkan hak-hak buruh.

“Saat itu perusahaan melakukan pemutihan. Buruh ditawari satu kali ketentuan dan dipekerjakan kembali sebagai buruh outsourcing. Sejak saat itulah hak-hak kami mulai dikurangi,” kenang mereka.

Pak tua tadi, salah satu orang yang menerima pemutihan. Pertimbangannya, seperti yang ia ceritakan kepada saya, saat itu usianya sudah 54 tahun.

Ketika ada yayasan dan sebagian besar karyawannya adalah outsourcing, perusahaan outsourcing itu memiliki peran yang besar. Sejak saat itulah, perusahaan yang sebelumnya tidak pernah membayar upah buruh lebih rendah dari UMK, kini mulai berani membayar upah buruh dibawah ketentuan yang ditetapkan Undang-undang. Banyak hak-hak lain yang tak diberikan. Pemecatan menjadi sangat mudah dilakukan. Maklum, mereka hanya berstatus sebagai buruh outsourcing.

Merasa kondisi kerja mereka dari tahun ke tahun semakin memburuk, muncullah gagasan untuk kembali menghidupkan serikat pekerja. Ide untuk menghidupkan kembali serikat pekerja yang pernah ada bukannya tanpa kendala. Banyak buruh GSI sudah trauma dengan serikat pekerja. Apalagi jika harus bergabung kembali dengan serikat yang lama.

Setelah melalui serangkaian diskusi, akhirnya disepakati bergabung dengan FSPMI. Proses bergabungnya relatif lama. Berminggu-minggu, bahkan. Tak mudah mengembalikan kepercayaan kepada buruh-buruh yang sudah terlanjur kecewa untuk kembali berserikat. Apalagi mayoritas dari mereka berstatus sebagai karyawan outsourcing.

Kekhawatiran di PHK jauh lebih besar ketimbang harapan akan lahirnya sebuah perubahan.

Benar saja. Setelah bergabung dengan FSPMI dan memberitahukan ke perusahaan, beberapa orang di PHK. Pembelaan segera dilakukan. Meskipun pengusaha bersikeras itu bukan karyawan mereka, tetapi ada penyimpangan dalam penggunaan tenaga kerja dari perusahaan jasa tenaga kerja.

Belum selesai pembelaan terhadap buruh yang di PHK, kabar mengejutkan itu datang, di akhir tahun 2013. Pengusaha menyatakan perusahaan tutup, karena sudah dijual ke orang lain. Mereka hanya bersedia membayar pesangon untuk karyawan tetap, itu pun dibawah ketentuan. Sedangkan untuk buruh kontrak dan outsourcing, hanya diberikan konpensasi ala kadarnya.

Tentu saja, buruh tak terima. Dalam situasi seperti ini, mereka bersatu padu. Bahkan buruh yang sebelumnya menolak diajak bergabung dengan serikat pun kini bersedia ikut serta. Barangkali mereka sadar, bahwa hak harus didapatkan. Tak mungkin perjuangan untuk mendapatkan hak yang tak diberikan itu hanyak dilakukan sendirian.

Dari 70-an karyawan, yang menyadang gelar sebagai karyawan tetap dan memiliki hubungan kerja secara langsung dengan GSI hanya 6 orang.

Beberapa hari yang lalu, sebenarnya sudah ada perundingan antara serikat dengan pihak management. Pengusaha sebenarnya bersedia membayar pesangon yang 6 orang. Akan tetapi, 6 orang ini menolak. “Kami meminta seluruh hak karyawan dibereskan. Bukan hanya yang 6 orang, tetapi untuk seluruh karyawan,” kata ketua PUK.

Saya bergetar mendengarnya: 6 orang untuk 60-an orang. Mereka tak egois. Mereka mengajarkan kepada kita arti setia kawan.

Hingga sekarang, buruh GSI masih tetap melawan. (Kascey)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *